#Sedikit Celoteh @adityaaryandi

Latest

Quote

Fragmen Analysi…

Fragmen Analysis. Menganalisis fragmen kehidupan #Belajar

karena disibukan dengan beberapa hal dapat membuatmu melihat list tagihanmu yang lain. dibagi porsinya dengan sesuai. Baru saja berjalan, sudah *lagi-lagi* dapat pelajaran kehidupan. A-Z. Dulu dan nanti.

Halo, Jakarta! Long time no see!

Image

 

Jakarta, 20 Januari 2014. 

Akhirnya berpindah dari asrama nyaman dan sejuk di sisi jalan Kaliurang Jogja, setelah hingar-bingar dan hiruk-pikuk ujian akhir selesai. Berpindah pun dalam waktu yang singkat dan mendadak. Mulai dari dibalasnya email dari salah seorang “Suhu” di Lembaga yang hampir 1 tahun lalu ingin kami (Erly, Abrory, Priscilia-red.) datangi. Alhamdulillah sekarang di kasih kesempatan sedikit menginjakan kaki disalah satu labnya yang kerjaannya mainan komputer.

Well, suasana Jakarta mendung. Hampir setiap hari.

Seminggu sudah hidup di Jakarta, banyak pelajaran yang dipetik ditengah hiruk-pikuk jalan yang selalu penuh dari pagi hingga malam. Ditengah-tengah hiruk pikuk itu, selintas, dan semakin deras kalimat itu lewat.

Apa kabar skripsi-mu?” “Kapan kkn?” “Kapan wisuda?” 

Ini mungkin ya, sindrom paska lembaga-sindrom mahaiswa tingkat akhir.

Yang pasti, mari bergerak! Ini tentang, memantaskan diri, Sabar bro. 

Tips Skripsi

Image

Bola Baseball dan Semangka

Picture2

Ada dua hal dalam perspektif saya dalam kehidupan kita sehari – hari.
Si pasif dan si aktif.
Sebenarnya jarang dalam benak saya untuk membentur-benturkan satu dengan yang lain.
Hanya ini sedikit perspektif yang mungkin cukup menggambarkan suasana dan keadaan yang “kadang” muncul di sekililing kita.

Bola Baseball dilapangan jelas-jelas dilempar dari satu orang ke orang yang lain. Itu gerakan aktif kan? Tentu jawabannya ya. Si pemain (dimanapun posisinya berada) sesekali menangkap, dan melempar bola itu. Menangkapnya tidak bisa asal dan sembarangan, melemparnya pun tidak bisa asal dan sembarangan, bahkan ada yang sampai rela melompat sebelum bola itu jatuh ke tanah, ada yang berguling untuk mendapatkannya, ada yang berlari jauh sebelum bola itu keluar area, ada yang merelakan badannya menjadi garda terakhir untuk menangkap bola itu. Macam-macam.

Aturan pertandingan baseball adalah 3 kali out pada setiap tim dan permainan akan berganti untuk giliran offense dan deffensenya. Out bisa terjadi karena ada strike ball (bola tidak berhasil dipukul oleh penyerang), bisa terjadi out karena base-tujuan si penyerang di kenakan oleh pemain deffense, atau ada bola yang terpukul keras-atau lemah- kalo ga salah istilahnya flyball) bisa tertangkap sebelum menyentuh tanah oleh deffense player.
Sedangkan poin bisa didapat tim offense player kalo berhasil memasukan playernya kembali ke home (setelah melewati 3 base), atau dapat walk through (kesalahan pitcher – pelempar) atau bisa jadi pukulan spektakuler ke luar arena tanpa menyentuh tanah, it called home run. Ini dia yang legendaris.

Di sisi lain, si kepala semangka yang pendukung setia kedua pihak tim, atau haters tim lawan, kadang-kadang kalo player melakukan kesalahan bisa dengan keras berteriak ” Wah! gimana sih? Itu udah dua out, skor tipis, malah ga ketangkep! Sayang banget!” atau ada komentar “Kalo gue ada disana bakal mati-matian gue tangkep deh. sayang banget!” atau jenis komentar positif lain “Bagus udah dua out, pressing dari sisi base nya aja, biar shortstop matiin yang di base 3”, atau bahkan ada yang acuh tak acuh “Bosen ah. Kalah mulu”

Bisa bayangkan posisinya?
Antara bola baseball sama semangka?

Image

Share what you get, share what you learn :)

14 Des 2013

 

My task is to share what I get, what I learn. Hope them can catch the point. See ya at the top of success! 🙂  http://kskbiogama.wordpress.com/2013/12/15/creativity-workshop-3/

People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.-Maya Angelou

BEM dan PEMIRA di Mataku: Sebuah Catatan Singkat Perjalanan dan Pemikiran (Tulisan via Iqbal Muharram)

You can speak well if your tongue can deliver the message in your heart. – John Ford

 

Bulan Desember. Seketika Kampus Kerakyatan UGM ini berubah iklim menjadi iklim pembelajar yang super progressif dimana-mana. Setiap orang punya karakteristik yang berbeda, mulai dari para aktivis yang sibuk dalam mempersiapkan agenda suksesi dan laporan akhir tahun, aktivis yang kritis membumi, hingga mahasiswa yang bahkan tidak mengetahui sedang terjadi apa dikampusnya. 

Justru, akhir tahun ini memberikan saya banyak pelajaran. Sejak 5 Januari 2013 lalu saya dilantik untuk mengemban amanah bersama kawan-kawan di BEM, baru kali ini juga saya mendapatkan pelajaran yang bergitu berharga. Kalau bahasa gaul, singkatannya mungkin seperti ini ; 

Mungkin… kebaikan-mu belum sampai pada hati – hati mereka, bro. 

Ya, itulah yang sebersit terpikir. Apa ini bagian dari curhatan? Tidak, insyaAllah saya tidak pernah mengeluh dengan apa yang sudah terjadi, saya jadikan evaluasi dari kinerja yang saya lakukan, dan saya garis bawahi, ini bukan kerja saya, tapi kerja-kerja tangan – tangan tanpa tanda jasa dari seluruh personil yang ada di BEM. InsyaAllah 🙂 Justru saya bersyukur dengan keadaan yang sekarang, membuka mata kawan – kawan saya tercinta untuk kembali meredefinisi apa yang menjadi tujuan merekawa diawal, membuka mata, dan mungkin banyak yang membuka hati. Tapi sekali lagi, Mungkin… kebaikan-mu belum sampai pada hati – hati mereka, bro. 

intinya,mungkin tulisan ini menginspirasi, dan sedikit berhubungan dengan apa yang belakangan ini saya rasakan.

Selamat membaca kawan seperjuangan!

BEM dan PEMIRA di Mataku: Sebuah Catatan Singkat Perjalanan dan Pemikiran (Tulisan via Iqbal Muharram)

diambil tanpa disuntin dari : https://www.facebook.com/notes/iqbal-muharram/bem-dan-pemira-di-mataku-sebuah-catatan-singkat-perjalanan-dan-pemikiran/10151184837907205 18 Des 2013 : 1:30wib

Suasana kampus nampaknya sudah mulai kembali hiruk-pikuk dengan gambar-gambar calon ketua organisasi mahasiswa, khususnya organisasi mahasiswa bernama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Hiruk-pikuk momentum regenerasi tahunan ini dikemas dalam konsep demokrasi yang berwujud pemilihan langsung (PEMILU) dan diikuti oleh seluruh entitas mahasiswa program strata 1 (S-1) dan Diploma (Sekolah Vokasi, SV) UGM. untuk konteks fakultasku dinamai Pemilihan Umum Teknik (PEMILU Teknik) dan untuk konteks skala Universitas dinamai Pemilihan Raya Mahasiswa (PEMIRA). Sebagai mahasiswa yang sampai sekarang masih menekuni Tugas Akhir kuliah, insyaa-Allaah –jika Allah ta’alamenghendaki ada umur yang sampai- ini akan menjadi PEMILU Teknik dan PEMIRA ke-6 yang aku ikuti dan sekaligus terakhir. Fyuhh, rasanya aku berada dalam perjalanan yang cukup panjang di kampus ini ketika melihat angkanya.

 

Aku menekuni aktivitas ke-BEM-an sejak semester pertama menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik (FT) UGM. Kultur aktivitas semasa jenjang SLTA dan karakterku yang memang gila kerja juga idealis membuatku langsung jatuh cinta pada BEM sewaktu pertama kali kami bertemu di masa orientasi dan inisiasi kampus, SPUTNIK (Sarana Pengenalan Kampus Teknik) dan P4T (Pekan Pengenalan Pembelajaran Perguruan Tinggi). Waktu itu yang menjadi ketua BEM di Fakultasku (KMFT) adalah Widya Adi Nugroho, mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2005, dan Presiden Mahasiswa di BEM Keluarga Mahasiswa (KM) UGM adalah Agung Budiono, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) angkatan 2003. Aku menjalani aktivitas di BEM mulai dari sebagai staf sebuah Departemen di BEM KMFT periode 2007, hingga akhirnya pada tahun 2011 dipercayakan oleh Presiden Mahasiswa BEM KM UGM periode 2011 untuk beramanah mendampinginya mengurus BEM KM dan mengawal kebijakan-kebijakan Internal kampus.

 

Di BEM aku mulai belajar mengenal realitas masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta dan kampus UGM. Dilibatkan masuk ke panti asuhan untuk mengajar secara sukarela, masuk ke desa-desa di pedalaman Yogyakarta untuk menerapkan ilmu keteknikan dan beragam ilmu lainnya, masuk ke kelas-kelas kuliah untuk menggalang dana sosial, masuk ke dalam jiwa-jiwa rekan sekampus untuk mengajak mereka terlibat aktif membina masyarakat, masuk ke dalam sejarah dan catatan keluarga dari ratusan mahasiswa agar distribusi beasiswa Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan Pendidikan (BP) berlangsung tepat sasaran, masuk ke dalam kantor dekan, rektor, dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk berdiskusi dan mencari jalan keluar dari problematika mahasiswa dan kebijakan-kebijakan yang ada di dalam kampus juga Indonesia, masuk ke dalam barisan orang yang berdemonstrasi damai untuk ikut protes dan mengajukan perbaikan kebijakan -dalam kampus, dalam negeri, maupun luar negeri- di jalanan sampai halaman Istana Negara, masuk ke dalam ruang-ruang seminar rekonsiliasi kasus, masuk ke dalam majelis-majelis kajian dan pendalaman isu, masuk ke dalam kelas-kelas pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain sebagainya.

 

BEM dikatakan sebagai miniatur Pemerintahan Negara, yang mengelolanya adalah mahasiswa. BEM tidak berada dalam garis hierarkis di bawah pengurus Universitas. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud RI) Nomos 155 tahun 1998, BAB III tentang Kedudukan, Fungsi, dan Tanggung Jawab, pasal 4, dinyatakan bahwa ‘Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan’. Kemudian dari pasal-pasal lainnya dalam Kepmendikbud RI itu bisa aku simpulkan bahwa sesungguhnya semua aktivitas yang anak-anak BEM lakukan adalah belajar, belajar peduli dan belajar mengurusi permasalahan, tidak muluk-muluk sampai menyelesaikan permasalahan dengan tuntas. Kalaupun tuntas, maka itu adalah buah dari kolaborasi antara waktu dan perjuangan yang terus diwariskan. Mereka juga belajar bertanggungjawab kepada masyarakat atas bantuan yang mereka terima dari masyarakat dalam bentuk subsidi pendidikan sehingga mereka bisa berkuliah. Di antara mereka kemudian ada yang bercita-cita kelak menjadi Presiden atau Menteri agar kepuasan mereka dalam kontribusi membantu masyarakat bisa terasa lebih besar, namun ada juga yang kapok lalu mundur dari cita-cita itu setelah merasakan beratnya beban yang harus mereka pikul meskipun dalam skala sekecil kampus.

 

Keberadaan KM UGM -termasuk di dalamnya adalah BEM KM, Senat KM, Lembaga Eksekutif dan Legislatif Mahasiswa Fakultas, dan Himpunan-Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi-, memiliki tujuan dan fungsi yang mulia. dalam Anggaran Dasarnya (AD) tertulis jelas bahwa tujuan KM UGM adalah ‘mengusahakan terwujudnya mahasiswa yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bewawasan luas, cendikia, memiliki integritas, berkepribadian, bertanggungjawab, serta berkepedulian sosial’. Fungsinya juga sangat jelas tertulis di sana;

  1. Menggali aspirasi secara umum;
  2. Menindaklanjuti aspirasi yang timbul dari mahasiswa UGM dalam bentuk kebijakan dan/atau program;
  3. Menanggapi dinamika eksternal dan internal kampus UGM untuk diabdikan kepada kepentingan mahasiswa khususnya serta bangsa dan negara;
  4. Membawa aspirasi mahasiswa UGM dan berinteraksi dengan berbagai elemen perubahan segala lini atau tingkatan;
  5. Melakukan negosiasi dengan pengurus Universitas  berkenaan dengan kebijakan keuangan dan distribusi dana kegiatan KM UGM;
  6. Melakukan negosiasi dengan pengurus universitas yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa dengan tidak melanggar prinsip-prinsip, sifat, tujuan, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan;
  7. Membela  kepentingan mahasiswa, masyarakat luas dalam bentuk dan skala tertentu sesuai dengan sifat, semangat, prinsip dan tujuan KM UGM.

Dari se-abreg urusan yang aku tulis di paragraf atas ini, maka aku seringkali menemukan sosok-sosok yang habis waktu dan uangnya untuk mengurus lembaga dan orang lain. Ketika mahasiswa lain asyik mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dalam hingar-bingar canda bersama pacar atau rekan-rekan sekelasnya, mereka harus rela membawa tugas-tugas kuliah itu ke sekretariat agar tidak tertinggal diskusi perkembangan kegiatan atau kasus. Ketika mahasiswa lain umumnya sudah tertidur lelap atau nongkrong asyik di warungangkringanburjo, atau tempat-tempat dugem, mereka harus rela rapat koordinasi dan konsolidasi di sebuah tempat terbatas untuk sebuah strategi pergerakan sosial-politik karena pagi-sore mereka sudah habis untuk agenda akademik, lembaga, dan pribadi. Ketika mahasiswa lain umumnya berakhir pekan bersama keluarga atau teman, mereka seringkali berakhir pekan dengan pelatihan-pelatihan dan event lalu menegaskan untuk menghibur diri bahwa para panitia adalah keluarga mereka dan aktivitas yang mereka lakukan kelak mengantarkan pada kejayaan bangsa. Ketika mahasiswa lain umumnya berpuas dalam membelanjakan uang saku, mereka harus berfikir berkali-kali ketika akan menggunakannya untuk pribadi sepenuhnya karena suatu saat mungkin harus mengeluarkannya untuk kegiatan yang sedang mereka urus. Ketika mahasiswa umumnya bisa berpuas-puas mengambil kredit kuliah di setiap semesternya, mereka harus rela mengambil sekedar ¾ sampai ¼-nya saja dari jatah maksimal kredit yang bisa mereka ambil demi rasionalisasi manajerial aktivitas harian mereka. Ketika mahasiswa lain umumnya menjawab “gak tau” atau “gak kerasa tuh pengaruhnya” atau “ke laut aja deh” atau “yang suka demo-demo itu kan ya?!” saat ditanya tentang ‘apa itu BEM?’, mereka meringis sepi sambil terus mengerjakan amanah-amanah ke-BEM-an mereka.

 

Tak heran di balik jibaku mereka itu, aku sering memergoki beberapa orang di antara mereka menyendiri di ruang sekretariat sambil membaca Al-Qur’an atau salat sunnahdhuha, kata mereka itu untuk menguatkan jiwa mereka. Ketika masuk waktu salat fardhu, beberapa dari mereka berhenti dari aktivitas event dan rapat-rapat mereka, lalu mengajak yang masih asyik masyuk dengan dunianya untuk bersama-sama bersimpuh menghadap Tuhan mereka. Ketika beberapa fakultas dan kampus-kampus kecil di Yogyakarta ini hebohdengan konser band dan tarian penggugah syahwat yang menghabiskan berjuta-juta rupiah lalu dengan bantuan industri rokok ternama, mereka bersikeras mengedepankan acara yang katanya ideologis nan berupaya mencerdaskan, mencari sumber-sumber dana yang lebih sehat nan menenangkan kendati pun sedikit. Aku yang mengalami masa-masa di pesantren tentu terenyuh dan nyaman melihat realita itu. Beberapa dari mereka bilang “ini dakwah!”, ah itu dia, sesuatu yang membuat mereka dinilai kaku dan eksklusif oleh sebagian kelompok orang.

 

Pernah suatu ketika di sekretariat BEM Fakultas aku menerima sebuah celotehan polos dengan ekspresi agak kesal, “kok BEM tuh suasananya Islami banget sih?!”. Aku katakan, “apakah mereka memaksamu meninggalkan agamamu di sini dan beralih ke Islam? Ajak saja teman-temanmu yang satu keyakinan untuk ikut juga meramaikan BEM dan sama-sama berkontribusi lewat BEM”. Kasus lain, yang menyelotehkannya adalah seorang Muslim, “kok kayaknya di BEM tuh Islamnya aliran tertentu ya?!”. Belakangan setelah itu aku mengetahui bahwa ternyata anak itulah yang menjadi penganut aliran tertentu; salatsemau gue, pacar gonta-ganti oke, bolos dan titip absen no problem mendugem adalah tongkrongan beken gue, rokok adalah menu wajib harian gue, dan beragam aktivitas hore-hore lainnya. Membuatku berfikir terheran-heran, “kalo dia Muslim, madzhab Islam mana yang mengajarkan gaya hidup begitu ya?”. Lalu ada juga yang bilang “ah, BEM itu dikuasai rezim gerakan mahasiswa tertentu, sudah gak sehat”, maka aku katakan begini “apakah para pengurus BEM itu memaksamu masuk ke gerakan mahasiswa corak mereka dan memaksamu meninggalkan gerakan mahasiswamu kalau kamu mau aktif di BEM? Kenapa tidak kamu menangkan baik-baik kontestasi politik di PEMILU Fakultas atau PEMIRA? Kalau memang kamu berniat kontribusi di BEM ya bergiatlah kamu di dalamnya dan ajaklah rekan-rekan sepergerakanmu untuk memenuhi BEM dengan kontribusi kalian”.

 

kayaknya kerja di BEM itu banyak dan melelahkan ya, tapi kok ya ternyata banyak juga mahasiswa yang belum tau itu?”. Rekan-rekan mahasiswa harus tahu bahwa BEM yang mereka miliki ini sebenarnya bisa dikatakan miskin dan selalu dilema di bidang kemediaan. Anggaran dana yang mereka terima tidak sebanding dengan tugas-tugas yang harus dan ingin mereka lakukan sehingga mereka dituntut untuk menambah kerja dan waktu guna pencarian dana tambahan dan sponsorship dari eksternal kampus. Setidaknya selama mengenal dan aktif di dalam BEM, aku belum pernah menemukan BEM yang memiliki sistem media dan opini yang kuat untuk memaksimalkan publikasi kinerja-kinerja mereka dan pencerdasan isu-isu ke publik, bahkan untuk sekedar dalam lingkup sesempit masyarakat kampus dan sesepele pencitraan nama baik lembaganya. Kondisi ini biasanya karena terbentur dengan pendanaan, kuantitas dan kualitas SDM media dan opini yang mereka miliki. Ini dia yang mungkin membuat mahasiswa lain dan masyarakat tidak pernah benar-benar tahu penuh apa yang telah BEM dedikasikan di sepanjang kepengurusannya. Berita-berita baiknya tertutup oleh beberapa oknum kader BEM yang sering bolos dan titip absen dalam tugas juga kelas, berita-berita baiknya tertutup oleh beberapa oknum kader BEM yang tidak berintegritas dalam kesehariannya, berita-berita baiknya tertutup  oleh berita-berita dari media swasta tentang mahasiswa biang kerusuhan di tanah Sulawesi. Atau sengaja ditutup-tutupi? Entahlah.

 

BEM, di masa-masa regenerasi seperti ini biasanya penuh dengan propaganda politik. BEM hanya milik golongan tertentu-lah, BEM eksklusif-lah, Presiden BEM dan Menteri-Menterinya kepanjangan tangan partai nasional-lah, Ketua BEM anti pluralitas-lah, Partai mahasiswa ini mendapatkan dana dari partai nasional-lah, Partai mahasiswa itu cuma menjual tampang kadernya-lah, penipuan administratif-lah, penggelembungan suara-lah, daaaannnn lain-lain.  Ini suasana yang wajar dalam lapangan politik, namun akan menjadi sangat tidak wajar di wilayah kampus intelektual ini ketika mahasiswa-mahasiswa yang terlibat itu tidak memproses konteks-konteks tersebut secara akademis, tanpa data dan bukti. Korbannya tentu adalah mahasiswa-mahasiswi yang tidak terlalu ngeh dengan politik, dibodoh-bodohi seniornya, dibodoh-bodohi politisi busuk. Alih-alih pencerdasan politik, malah pembodohan publik dan penanaman benih-benih konflik. Jangan-jangan hal inilah yang membuat hilangnya simpati khalayak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA. Lihat saja, partisipasi mahasiswa UGM yang memiliki hak pilih dalam PEMIRA ataupun PEMILU Fakultas (program Strata 1 dan Diploma) rasa-rasanya tidak pernah sampai 50%. Fakultasku termasuk yang paling parah partisipasinya, aku menilainya setelah melihat data grafik partisipasi PEMIRA selama 4 tahun terakhir dari 5 rumpun Fakultas yang ada di UGM; rumpun Teknik, rumpun Sosial Humaniora, rumpun Fakultas Kesehatan, rumpun Sains, dan rumpun Agro. Secara jumlah, Fakultas Teknik adalah rumpun yang paling kaya akan jumlah mahasiswa, namun partisipasinya paling minim jika dibandingkan rumpun lainnya.

 

BEM ada atas perjalanan panjang para pendahulu mahasiswa di negeri ini yang memperjuangkan perbaikan-perbaikan, sejak bernama Dewan Mahasiswa dan terus mengalami transformasi hingga kini bernama BEM. Para pendahulu mahasiswa itu mengajarkan dalam sejarah mereka bahwa perjuangan mereka tidak identik dengan main-main dan hura-hura, tapi identik dengan keseriusan dan pengorbanan hal-hal yang menyenangkan. Para pendahulu mahasiswa itu memberitahukan pada kita dalam sejarah mereka bahwa perjuangan mereka selalu mengiringi setiap jejak peristiwa bangsa. Aku ada, aku berfikir, aku peduli, dan aku memiliki harapan, maka aku mantap untuk menyatakan bahwa aku ada, punya suara, dan punya karya. Dengan menggunakan hak pilihku setidaknya aku ikut memastikan estafeta mereka itu sampai ke tangan-tangan yang tepat.

 

Dalam PEMILU Fakultas dan PEMIRA nanti, siapapun memang berhak menyatakan memilih atau tidak memilih. Yang pasti, semua yang kita lakukan tidak akan lepas dari pertanggungjawaban, termasuk pertanggungjawaban atas hak keterlibatan kita, atas keberadaan kita bersama ragam potensi yang kita miliki.

 

Ah, sepertinya aku sudah cukup berpanjang cerita di sini. Inti dari keseluruhan isi catatan ini sebenarnya adalah ajakan. Ajakan untuk mengenal BEM lebih dekat dan berpartisipasi aktif nan sehat dalam perguliran masa aktivisme BEM, agar BEM semakin baik dalam menjalankan peran-peran dan tugas-tugasnya. Siapapun berhak berkompetisi untuk mengisinya, asalkan dengan cara yang layak dilakukan oleh mahasiswa dan tidak mencoreng nilai-nilai kenegaraannya; spiritualitas, moralitas, persatuan, kerakyatan, musyawarah, intelektualitas dan keadilan. Siapapun berhak mengisi tampuk kepemimpinan dan aktivisme lembaga-lembaga mahasiswa, asalkan benar-benar kuat serta siap dalam menjalankan amanah-amanahnya sehingga tujuan dan fungsi lembaga itu tetap terpenuhi. Karena toh kelak ketika telah menjadi pengurusnya, dia tetap dituntut untuk memiliki itikad dan ikhtiar mengakomodir semua elemen mahasiswa di UGM, bukan hanya mengakomodir rekan-rekan sesukanya.

 

Betapa kelak aku berhak untuk marah, memberi kritik dan masukan, ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya itu tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya. Betapa aku pun kelak berhak untuk bangga dan bahagia ketika sesuatu yang aku terlibat di dalamnya itu ternyata menuai keberhasilan, terlebih bisa mempertahankan kebaikan-kebaikan yang mereka buat itu sehingga masa depan bangsa ini dipenuhi orang-orang berintegritas, yang telah hilang ambisi nafsunya dan teruji mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan orang banyak.

 

12 Desember 2012, dari sebuah gumam di kampung visi

OSAKA #2 : It’s been a month since 4th Nov.

*tanpa tendensi apapun buat postingan ini*

 

Alhamdulillah. It’s been a month since 4th Nov. 

Did you remember? That when I posted this stuff, we already get ready to jump to the next level of things to worry. Isn’t it right? 

Yap!

Then, it’s already passed. So, wait for the story that I will share it to you all!! 🙂 

Image

Miskin? Ga boleh sekolah!!

Resensi Buku

Judul Buku                 : Orang Miskin Dilarang Sekolah

Penerbit                     : Resist Book

Penulis                       : Eko Prasetyo           

Jumlah Halaman          : 272

Tahun Terbit              : 2011 Cetakan Pertama-

 

 

 

SEKOLAHAN HANYA BIKIN MISKIN

Haruskah orang sekolah berduit? Haruskah orang miskin ga boleh sekolah? Orang sekolah harus berduit, orang miskin dilarang sekolah!

Suatu pagi di sebelah rumah, saya bercerita ke anak saya. Nak, kelak besok, kalau tidak bisa sekolah, berarti kita miskin. Kita harus punya uang dulu untuk bisa sekolah.

Rasanya,sungguh tidak adil apa yang terjadi di negeri ini. Ketika yang kaya bisa menguasai segala sesuatu, karena kondisi keuangannya lebih berada dibanding dengan yang lainnya.

            Premis pertama : Mengeyam program wajib belajar 12 tahun. SD hingga SMA. Premis kedua : Sekolah itu mahal. Sehingga apa yang bisa disimpulkan pada kalimat ini adalah, untuk dapat mengeyam belajar  itu sendiri mahal. Hal ini yang menjadi suatu hal timpang yang terjadi pada pendidikan dinegeri ini.

            Pendidikan kita memang kacau-balau. Nampaknya pemegang kekuasaan yang berkuasa saat ini, tampaknya tuli dengan kritik dan cercaan yang ditujukan kepadanya. Padahal kita tahu pendidikan adalah cerminan dari peradaban dan kualitas bangsa. Seperti kita tahu, pengeyam pendidikan saat ini di Indonesia hanya menjadi komunitas kecil yang dapat memberikan perubahan dan dampak positif pada masyarakat sekitar. Buku ini mencoba memberikan perspektif yang berbeda dari buku – buku lain, tentang bagaimana memandang problematika pendidikan yang terjadi saat ini.

Sampai tahun 2000, lebih dari enam juta anak usia sekolah yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan tingkat dasar. Lebih parah lagi, ekspresi bahwa sekolahan mahal terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas (2003) yang menyatakan bahwa 42% responden berpendapat biaya sekolah SD saat ini sangat mahal, dilanjutkan dengan 45% menganggap biaya SMP sama halnya dengan biaya di bangku SD, dan 51% menyatakan bahwa biaya sekolah SMA mahal. Jika dipukul rata, terdapat kenaikan persentase kesepakatan responden, jangan lebih lanjut ditanyakan bagaimana dengan hasil responden pada tingkat pendidikan tinggi. Walaupun dasar hukum konstitusional negara Indonesia menyatakan kalau negara mengeluarkan anggaran 20% untuk biaya pendidikan, akan tetapi disisi lain, ada desakan untuk pelaksanaan otonomi dan pengurangan subsidi. Rakyat yang tidak sedikit menjadi apatis ketika tingginya biaya tak secara otomatis membuat pendidikan jadi lebih berkualitas.

 Image

Pendidikan yang saat ini menjadi sarat dengan segala problematikanya, justru jarang membuka ruang out of the box pada masing – masing peserta didik. Mulai dari terkendala jumlah murid dalam suatu kelas, cara mengajar guru, hingga pola penerimaan murid-murid saat ini. Lantas, apa hubungannya dengan orang miskin? Lagi – lagi, bahkan orang miskin belum dapat merasakan pendidikan ini dengan baik. Terbentur lagi – lagi dengan masalah finansial yang sering kita temui. Apa lantas ada yang salah dengan mereka yang miskin dan belum berkesempatan memiliki rezeki yang lebih? Tidak menurut buku ini, karena menurut penulis, ada sesuatu yang salah dengan sistem yang berlaku pada pendidikan di Indonesia.

Beralih dari isi yang sangat luarbiasa, buku ini memang di desain secara berbeda dengan buku-buku biasanya. Menurut peresensi, buku ini didesain atas beberapa hal utama yakni, kreatifitas dan daya imajinasi tinggi, disertai dengan data yang akurat, dan konfrontatif. Mengapa? Jika ditilik salah satu halaman, dan juga banyak halaman dari buku tersebut, disajikan secara konfrontatif diluar apa yang difikirkan jika hanya dalam konteks. Penulis menuliskan isi buku ini atas dasar pengalaman yang diterima, disertai dengan data yang akurat dengan kajian yang telah diulas dengan apik, sehingga tulisannya terkesan ringan namun tajam dalam penyampaiannya. 180 derajat dalam membalikkan fakta yang kadang tertutupi dalam kehidupan nyata, yang jarang sekali dilirik oleh para pemegang kekuasaan tinggi pendidikan. Detil yang terjadi di lingkungan sosial dengan apik di kemas dalam gurauan-gurauan di buku ini. Tidak jarang visualisasi gambar yang mewakili tulisan ada benarnya dengan kejadian nyata yang terjadi di sekeliling kita sekarang. Sehingga, inilah yang peresensi nilai sebagai kelebihan buku ini. Tidak hanya sekedar menulis, tapi ruh protes dan konfrontatif penulis hadir sebagai bagian yang tidak terlepas dari buku ini. Disisi lain, terkadang memang ada beberapa bagian yang peresensi nilai, terlalu konfrontatif, tapi yakin yang dimaksud penulis adalah baik adanya, tidak untuk menegasikan pihak – pihak yang dilibatkan dalam tulisannya.   

Peresensi :  R Aditya Aryandi S.

Resensi : Saatnya Dunia Berubah! : Perjuangan diatas masalah kemanusiaan, birokrasi, dan ketidakadilan

Resensi Buku

Judul                            : Saatnya Dunia Berubah!

Penerbit                      : PT. Sulaksana Watinsa Indonesia    

Penulis                         : Siti Fadhilah Supari

Jumlah Halaman         : 182 hal, cetakan ke 3

Tahun Terbit               : 2007

 

Indonesia masih dijajah! Kita masih terjebak dengan segala regulasi yang berlaku dan kita tidak dapat mempertahankan kedaulatan utuh kita sebagai Negara Kesatuan. Ini bukan hanya tentang Indonesia, ini juga tentang kemanusiaan. Bukan tentang kesadaran, tapi penindasan Negara adikuasa!

Saatnya Dunia Berubah!

Berjangkitnya penyakit yang dicurigai sebagai efek dari virus Avian influenza atau flu burung sekitar tahun 2004-2006 merebak ditengah masyarakat yang kian lama kebingungan akan pandemik yang terjadi. Masalah ini berkembang semakin serius seiring belum ada teknologi di tanah air yang mampu secara langsung membasmi dan menghentikan efek dari penyakit ini.

Menghadapi penyakit ini, pemerintah di bawah Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari, bertindak cepat dengan segera menyelenggarakan pemusatan investigasi lapangan dan laboratorium, serta perencanaan penanganan berbagai kasus. Menteri Kesehatan bertindak langsung sebagai ujung tombak keputusan selain menerima arahan langsung dari RI 1 kala itu. Mulai dari pengambilan skala prioritas penanganan, hingga berbagai halang dan rintang selama pelaksanaan pengambilan kebijakan, baik tingkat dalam negeri maupun tingkat luar negeri.

Seperti yang diketahui, bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang tergabung dalam jejaring pembangunan kesehatan oleh WHO (World Health Organization). Lebih khusus dalam penanganan beberapa kasus flu burung yang terjadi, sebagai contoh kasus di Vietnam, terdapat peraturan dimana Negara pandemik wajib mengirimkan seluruh sampel virus yang ada untuk diproses lebih lanjut oleh WHO Collaborating Center (WHO CC). Hal ini adalah bagian dari peraturan yang telah berlaku sejak 50 tahun yang lalu, yakni mekanisme Global Influenza Surveillance Network yang pada intinya menyatakan setiap Negara yang bergabung dan menjadi korban dari virus pandemik (termasuk Negara berkembang), secara tunduk wajib untuk menyerahkan sampel virus tanpa syarat kepada WHO CC dengan tindak lanjut analisis sampel, pengambilan kebijakan penanganan, dan pemberian penanganan sementara menggunakan vaksin yang sudah dikembangkan sebelumnya.

Namun, muncul pertanyaan kemudian setelah sekian lama regulasi itu berlangsung. Kemanakah larinya pengelolaan dari virus yang sudah diberikan dari Negara berkembang yang menjadi korban pandemik virus? Bagaimana dengan pengaturan benefit sharing  yang di laksanakan? Bagaimana dengan vaksin yang diproduksi di Negara yang maju dan kembali disebarkan atau “dijual” dengan harga yang berkali lipat pada Negara berkembang yang justru menjadi korban?

Inilah yang mengusik ketenangan dari Siti Fadhilah Supari. Mekanisme yang berlaku seolah tidak memberikan kesempatan dan kesetaraan antara Negara maju dan  Negara berkembang dalam hal mengembangkan penanganan kesehatan. Tentunya kita sebagai Bangsa Indonesia juga turut berterima kasih terhadap respon yang dilakukan oleh WHO, namun banyak terdapat kecacatan sistem dan celah-celah penyelewengan sistem, jika sistem yang ditetapkan dalam GISN sama sekali tidak dirubah. Hal ini berkembang menjadi ketidak transparanan sistem, yang lama kelamaan akan semakin membuat tertekan Negara yang masih dikategorikan Negara berkembang. Contohnya, ketika ternyata di Indonesia, strain virus yang ditemukan adalah strain yang berbeda dari yang sudah pernah ditemukan sebelumnya, dan diketahui virulensinya lebih ganas daripada jenis lain. Logika sederhana sistem biologinya adalah, ketika virulensi yang dihasilkan suatu virus semakin kuat, berarti ada kemungkinan pula untuk menghasilkan vaksin yang lebih kuat dari hasil rekayas virus tersebut. Sayangnya, Indonesia belum bisa penuh melakukan hal tersebut, namun sejatinya tetap dapat dilakukan. Hal ini dibuktkan dengan adanya kerjasama antara Departemen Kesehatan RI dengan Eijkman Institute for Molecular Biology (Institut Molekular Eijkman, di Jakarta) yang sudah dapat melakukan sequencing data dari identitas virus tersebut.

Beralih dari permasalah virus, ternyata permasalahan ini berkembang menjadi masalah yang kompleks. Dari segi birokrasi, berdasarkan pemaparan dari buku ini, Indonesia menjadi bagian yang dirugikan karena adanya mekanisme GISN. GISN yang berlaku saat ini belum dapat menguntungkan Negara – Negara yang masih dikategorikan berkembang untuk mendapatkan benefit sharing dari apa yang terjadi di Negara tersebut. Melainkan Negara maju dapat dengan mudah memannfaatkan sampel virus, dan pengelolaannya tidak diketahui. Salah satu kasus yang dicurigai merupakan bagian dari penyelewangan mekanisme ini adalah adanya strain virus Indonesia yang ditemukan di suatu instansi penelitian tertutup dibawah mekanisme birokrasi Departemen Pertahanan Amerika, yang menuai banyak kontroversi. Mekanisme non-transparan ini juga pada dasarnya menyalahi aturan internasional salah satunya adalah kesepakatan MTA (Material Transfer Agreement) yang mana memberikan kesempatan benefit sharing  bagi Negara pemilik sumberdaya, dan pengakuan hak cipta, serta royalti bagi Negara pemilik sumber daya.

Image

Ya. Ini masalah kemanusiaan diatas segala permasalahan birokrasi. Pun, ini adalah masalah kedaulatan suatu Negara yang memiliki potensi untuk berkembang namun lagi – lagi ditindas oleh adanya sistem dari Negara adikuasa. Pada tengah hingga akhir cerita pada bukunya ini mengambarkan proses perjuangan Siti Fadhilah Supari dalam mempertahankan eksistensi Indonesia, mempertahankan idealisme membela Negara, dan Negara – Negara lain yang serupa kondisinya melalui berbagai cara formal dan informal. Cara formal dan legal melalui serangkain konferensi tingkat tinggi antara Negara – Negara, hingga kongres besar yang dilaksanakan di Genewa untuk mengambil dan memperjuangkan hak – hak Negara berkembang terhadap ketidak adilan yang terjadi.

Buku yang merupakan tulisan langsung dari Siti Fadhilah Supari, yang saat itu  merupakan Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I periode 2004-2009 menjadi pembahasan menarik dan mengejutkan bagi seluruh orang yang memperhatikan. Mulai dari akademis, politisi, dan seluruh media massa, secara massif memberitakan apa yang terjadi dengan Siti Fadhilah Supari. Hal ini berkaitan dengan cerita fenomenal perjuangannya, serta nilai  apa yang bisa kita perjuangkan. Dari buku ini banyak pelajaran yang bisa dipetik bagi kalangan muda saat ini yang kebanyakan masih bersila tangan dan menikmati jalannya hidup yang tenang, dengan comfort zone nya saat ini. Selain itu, buku ini mengajarkan bahwa sejati sebagai bangsa kita harus bisa mempertahankan idealisme dan identitas siapa diri kita sebenarnya. Namun semata-mata bukan untuk memperjuangkan nilai – nilai yang salah dan tidak sepatutnya diperjuangkan, namun memperjuangkan hak – hak suara kebenaran kepermukaan. Sampai – sampai seperti dilansir di detik.news bahwa buku ini sudah tidak diperbolehkan terbit lagi dipasaran, karena vulgarnya pembahasan yang dilakukan.

Dari segi kepenulisan, buku ini dirancang sedemikian rupa yang mana menggambarkan bahasa langsung (bahasa sehari – hari) yang digunakan oleh penulisnya. Bahasa yang disampaikan mudah dimengerti oleh pembaca, dan dapat langsung pada topik yang diinginkan. Namun beberapa kekurangannya hanya terdapat dalam tata bahasa yang digunakan, terkadang terdapat kalimat-kalimat informal. Hal ini dikarenakan ada beberapa bagian yang ditulis secara gaya bahasa tulisan/catatan harian. 

 

Peresensi : R Aditya Aryandi

Image

Sakura on the Osaka Castle #1

Sakura on the Osaka Castle #1

Hanya bisa bersyukur. Semoga bisa sampai kesana tahun ini.
Semata – mata karena untuk menuntut ilmu, bukan karena gengsi dan tendensi lain apalagi hal – hal duniawi.

Dan saat engkau menginginkan sesuatu yang baik, maka seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.

(Paul Coelho, The Alchemist)

If your ship doesn’t come in, swim out to it!
Let’s go and sail! #PaperID1088

[Repost] Belajar dari Rasulullah

[repost]

“Suatu ketika, ketika Rasulullah sedang bersama istri beliau, ada beberapa sahabat yang lewat di hadapan beliau. Sahabat itu kemudian memalingkan mukanya dan bersegera meninggalkan tempat itu.

Rasulullah pun mengejar sahabat itu, dan menjelaskan bahwa beliau sedang bersama salah seorang istri beliau.

Sahabat itu berkata : tanpa di jelaskan pun, kami tidak akan berpikir macam-macam tentangmu ya Rasulullah.

Rasulullah menjawab : aku tidak mau ada bibit suudzon yang bisa di manfaatkan setan untuk berprasangka buruk terhadapku.

Masya Allah, begitu lembutnya Rasulullah menjaga hati para sahabatnya, bahkan untuk perkara yang sudah jelas seperti itupun, beliau masih memastikannya dengan mengejar sahabat tersebut dan menjelaskan tanpa diminta.

Sedang kita, justru lebih suka menebar kata-kata bersayap, hal-hal yang mengundang sejuta penafisiran, seakan sengaja mengundang orang lain untuk berprasangka, dalam status-status kita, dalam sms-sms kita, dalam interaksi kita dengan orang-orang di sekitar kita.”

– Ustad Deden, KRPH bulan April, tentang cara Rasulullah menanamkan adab dan akhlak kepada para sahabat.

#belajar #lagi

via @fajarsofyantoro